anu

Latest Lessons and Learning Materials


CINTA RAHASIA
Ugit Rifai Amsal Hadi

       Seperti masa-masa yang sudah, aku selalu menemukannya. Tuhan mungkin selalu berkehendak demikian. Aku bukan siapa-siapa menolak kehendak-Nya. Aku tak tahu apakah aku sedang berbaik sangka kepada-Nya, ataukah sebaliknya. Tapi, aku merasa Tuhanlah yang selalu membuatkan langkah-langkah untukku. Aku seolah air yang akan selalu menemukan muaranya, tak peduli dari arah mana ia dicurahkan dan ke mana dialirkan. Aku akan selalu menemukan seseorang untuk kucintai secara diam-diam.
       Seorang teman pernah berujar, ''Cinta paling jernih di alam dunia ini adalah cinta rahasia yang tak pernah terucap dan tak pernah terungkap.''
       Aku sempat benar-benar tak percaya dengan ucapannya. Aku bahkan tak begitu yakin kalau ia memahami kata-katanya sendiri. Cinta itu menurutku serupa angin. Dia mungkin tak membentuk tak berujud, tapi kau merasakannya. Kalau arimu tersentuh lembutnya, kau akan tahu itu angin. Lalu, bagaimana mungkin cinta tak terungkap?
       Baru aku mengerti maksud kalimat itu, ketika aku menemukannya, dia, dan dia yang satu lagi. Dan sekarang, aku menemukan lagi dia yang lain. Aku tak pernah tahu nama-nama mereka. Bagiku itu tak penting. Aku bahkan tak pernah mencari tahu atau sekadar ingin tahu. Nama bagiku tak lebih dari label yang bisa diganti dengan apapun sesukaku. Biarpun begitu, aku tak pernah menamai mereka dengan apapun. Aku cukup menyebutnya 'dia'.
       Aku menemukan dia yang pertama di bus antarkota jurusan Bandung-Cirebon. Waktu itu aku langsung yakin kalau dia berasal dari Kota Sumedang karena ketika bus yang mengantarku menghentikan lajunya tak jauh dari kantor Polres Sumedang, dia baru terlihat menyesaki kerumunan penumpang. Aku tak pernah ambil pusing tentang kemungkinan lain kalau seumpama sebenarnya ia berasal dari Bandung, bukan Sumedang. Toh, itu juga jadi bagian yang tak penting.
       Pertama kali terlihat, ia begitu biasa. Ingat, aku bilang 'terlihat'. Ya, aku tak pernah benar-benar ingin melihatnya. Ia muncul begitu saja dan mengisi ruang pandangku. Aku tak mungkin menghindarinya. Ia yang begitu biasa dengan rambut sebahu diikat. Lehernya tak begitu jenjang, tapi tetap terlihat tanpa geraian rambut yang menutupi. Tubuh langsingnya dibalut kaus lengan panjang dengan motif garis-garis. Terlihat tangannya menjangkau-jangkau pegangan bus. Sebagian lengannya terbuka dari singkapan lengan panjang kaus yang dikenakannya. Kulitnya yang sewarna cangkang telur menisbatkan keindahan yang tak biasa. Ah, sayang wajahnya tak menghadapku. Aku pun tak pula pandai mengira-ngira.
       Dua hari berlalu, aku menemukan dia yang sama di kampusku. Aku yakin itu dia dari kulitnya yang sewarna cangkang telur. Ternyata wajahnya manis dengan dua mata sipit, hidung pesek dan bibir mungil. Dia selalu terlihat di tempat dan waktu yang tak tentu. Aku pernah tak sengaja melihatnya sedang berjalan menuju tempat kuliahnya, sedangkan aku berada di dalam kamar asrama mahasiswa. Pernah pula ia terlihat di dalam perpustakaan kampus saat aku sedang mencari referensi untuk skripsiku. Tak jarang pula ia muncul di koperasi mahasiswa atau sekadar meluruskan kakinya di koridor masjid kampus. Ia selalu terlihat. Aku tak sengaja melihatnya. Sejak itulah, aku nyatakan dalam hati: Aku cinta dia.
       Dia lalu begitu saja menjadi bagian penting dalam doa-doaku. Aku tak tahu apa yang sedang diperbuatnya atau apa yang sedang ia hadapi. Tapi, doaku buatnya cukup. Aku mendoakan kesuksesan atas apapun yang dikaitkan dengannya. Aku tak butuh nama untuk mendoakannya, begitu pun Tuhan. Ia tak perlu nama untuk mengabulkan doa seseorang. Aku mencintainya dalam hatiku.
       Dia yang pertama jarang lagi terlihat saat aku mesti meninggalkan asrama mahasiswa. Lalu aku pun menempati sebuah kamar kos jauh dari asramaku dulu. Dia tak lagi terlihat. Aku masih mencintainya dalam hatiku.
       Kemudian muncullah dia berikutnya dari perjumpaan yang tak diduga. Dia yang terlihat selewat di permulaannya. Tapi aku langsung menemukan raut wajahnya di situ. Kulit wajahnya terang berhias mata lentik, hidung agak mancung, dan bibir mungil. Tak sehelai rambutnya terurai. Rambutnya tertutup kerudung krem berenda yang membungkus kepalanya. Dia sedang membeli sarapan paginya, sementara aku sedang mencari-cari sampo untukku mandi pagi itu. Warung yang begitu kecil tak mungkin menghindarkan kami dari saling bertatap, meski sekejap. Seketika itu, hatiku kembali menghadirkan cinta. Aku cinta dia dalam diam.
       Begitu aku mencintainya, tapi aku tak mau mengenalnya atau ia mengenalku. Biarlah dia menganggapku sebagai orang lain yang tak pernah dianggap ada. Karena jika begitu, cintaku padanya mungkin sekali akan terungkap. Aku tak mau itu. Aku ingin mencintainya diam-diam.
       Selanjutnya keadaan tak pernah lagi sama. Selalu berubah. Dia terlihat, dia hilang. Dia yang lain muncul ke muka. Aku selalu menemukannya.
       Terakhir kali, dia yang baru hadir. Tapi, sial, aku sudah tahu namanya lebih dulu. Bukan salahku, namanya terlihat begitu saja menempel di atas seragam yang dipakainya. PUTRIE, begitulah tulisan di papan nama itu. Dia cantik. Kali ini aku tak sengaja melihatnya duduk di belakang meja di dalam kantor pos. Dia adalah pegawai pos. Ah, hatiku bimbang kali ini. Apakah aku masih bisa mencintainya diam-diam? Lalu pikiran itu muncul: Jika nama tak penting untuk dicari, maka apa bedanya jika telah ditemukan? Kita masih bisa menggantinya dengan yang lain. Keputusan dibuat, aku akan mencintainya dengan sembunyi-sembunyi.
       Entah saat itu aku sedang sial atau beruntung, hari berikutnya dia terlihat lagi sedang berjalan melewati gang sempit di sekitar tempat kosku. Kami berpapasan. Sial, dia menyapaku! Meski belum tahu namaku, dia merasa mengenali wajahku dari perjumpaan sebelumnya. Aku terpaksa tersenyum dan membalas sapaannya.
       Lewat dua hari, dia tak terlihat. Aku lega. Aku masih ingin mencintainya dengan sembunyi-sembunyi. Tapi, perkiraanku meleset. Aku menemukan secarik kertas di gang sempit antara bangunan-bangunan kamar kos yang biasa dia lewati. Itu miliknya, kulihat namanya di atas. Lalu, menyusul ada tanggal lahir, alamat, pekerjaan, dan seterusnya. Sial, aku jadi tahu lebih banyak tentang dia! Tenang, ini cuma deretan huruf-huruf dan angka-angka yang tidak berarti. Aku pikir aku masih bisa mencintainya dengan sembunyi-sembunyi.
       Hari selanjutnya suasana tenang. Tak ada lagi kabar tentang dia. Aku pun berusaha menghindari untuk pergi ke kantor pos. Aku beralih ke jasa kurir. Semua berjalan lancar. Hingga suatu siang, saat aku sedang makan siang dengan temanku, tiba-tiba saja dia muncul dan duduk di samping temanku. Dia menyapa temanku tanpa canggung lalu menyambungi obrolan kami. Sial, ternyata dia kawan temanku! Dia sadar aku ada saat itu, lalu mata kami saling berpandang. Alamak, dia mengulurkan tangannya. Sial, hari itu kami berkenalan juga!
       Aku sudah terlampau banyak ditimpa kesialan dengan dia yang baru ini. Tapi, biarlah, aku masih mau mencoba mencintainya dengan sembunyi-sembunyi.
       Minggu ketiga setelah perkenalan itu, temanku itu datang membawa surat terbungkus amplop lucu bergambar karakter kartun. Di dalamnya ada tertulis ini:

KAU TAK BISA MENCINTAIKU DIAM-DIAM
KARENA AKU MENCINTAIMU.

Putrie

       Sial, aku tertangkap! Cintaku terungkap!

Cirebon, 30 Oktober 2010 01:16 am

Hari sudah senja. Unyil pulang dengan mata berkaca-kaca. Kepalanya terus saja menunduk.
''Kenapa, Nyil?'' tanya Ibu.
''Kelereng Unyil drebut sama Upin, Bu,'' kata Unyil lirih.
Ibu diam.
Unyil masuk ke dapur.
Mata Ibu terbelalak.
Unyil keluar dengan pisau terhunus.


Baru saja beberapa jam yang lalu (16/12) Tim Nasional Sepakbola Indonesia mematahkan peluang Filipina untuk maju ke babak final Piala AFF tahun ini. Luapan kegembiraan tumpah ruah di mana-mana. Bahkan Presiden SBY bersama Ibu Ani turut hadir langsung di tengah-tengah supporter tim Garuda untuk berbagi keceriaan.

Seperti diketahui bersama, malam ini Indonesia mengalahkan Filipina 1-0 (1-0) dan melaju ke babak Final untuk menghadapi Malaysia. Banyak tanggapan yang muncul tentang kegemilangan Timnas kita akhir-akhir ini. Beragam pula hal yang ditanggapi, mulai dari pemain naturalisasi, pelatih, bahkan sampai PSSI. Tentu saja ada yang baik dan ada yang buruk. Namun, bukan ini yang mencuri perhatian saya.

Masih lekat dalam ingatan saya bagaimana Mentawai diterjang tsunami, Wasior dilanda bencana banjir, dan warga Jogja dan sekitarnya yang merasakan ketidaknyamanan akibat letusan Gunung Merapi beberapa bulan silam. Semua orang berlomba-lomba menyumbang untuk membantu meringankan beban saudara mereka. Bahkan, banyak yang rela jauh-jauh datang ke JAKARTA dan menyerahkan sumbangannya di sebuah stasiun TV, mungkin supaya disorot kamera atau disebut namanya. Lalu, ada Gayus yang tertangkap kamera sedang menonton tenis di Bali. Kemudian ada TKW (lagi) yang disiksa majikannya di luar negeri juga ada yang baru dikabarkan meninggal setelah 3 tahun. Dan terakhir, polemik yang terjadi di Jogja pasca pemulihan bencana Gunung Merapi.

Di satu sisi, euphoria ini seperti sengaja ingin melalaikan kita dari masalah. Saya bukan ingin merusak suasana, hanya saja menurut saya kita tak boleh terlampau larut dalam kegembiraan yang berlebihan dan melupakan persoalan-persoalan lain yang belum tuntas. PR kita masih banyak untuk terus mendampingi dan ikut mengawasi pemerintah dalam penyelesaian masalah-masalah yang tak habis-habisnya ini. 

Namun di sisi lain, rakyat Indonesia seolah-olah bisa menemukan kegembiraan yang akhir-akhir ini sedang menjauhi mereka. Sehingga lewat tontonan sepakbola inilah mungkin mereka sebenarnya sedang menghibur diri di balik ketidaknyamanan lahir dan batin selama ini. Lebih dari itu, mereka seperti sedang meyakinkan diri mereka sendiri dan orang lain bahwa Indonesia adalah negara yang hebat dan patut disegani.

Akhirnya, memang sangat wajar ketika kita merasa gembira dengan turunnya hujan karena pertanda ladang kita akan terairi. Tapi, jangan lupa dengan atap rumah kita yang bocor karena kita tentu tak mau tidur di atas genangan air, bukan? Selamat untuk Timnas Indonesia dan maju terus penegakan hukum dan HAM di Indonesia!


21 Desember 2010



Coba jawab pertanyaan sederhana dari saya ini: Ingatkah Anda kapan terakhir kali Anda lupa sesuatu? atau Lupakah Anda bahwa Anda pernah mengingat sesuatu? Ada beragam kombinasi jawaban untuk kedua pertanyaan itu yang berkisar pada 'ya' dan 'tidak'. Namun, jika ditilik lebih jauh ingat dan lupa menjadi sangat sulit dibedakan.

Ketika kita merasa melupakan sesuatu, saat itu pulalah sebenarnya kita sudah mulai mengingat sesuatu yang belum muncul ke pikiran kita. Dan, saat kita berhasil mengingat sesuatu, sebenarnya kita melupakan pilihan lain yang mungkin saja seharusnya muncul di pikiran kita. Contoh nyatanya seperti ini, saat kita merasa lupa tentang arti kata 'angkasa' dalam bahasa Inggris, sebenarnya kita sudah mulai sadar bahwa ada ingatan yang sudah pernah ada tapi belum muncul di pikiran kita. Saat itulah, saat kita sadar bahwa kita lupa, kita sedang mulai mengingatnya. Lalu saat kita berhasil mengingat kata 'sky', sebenarnya kita melupakan pilihan lain (misalnya 'space' yang juga berarti 'angkasa') yang mungkin saja seharusnya muncul di pikiran kita. Jadi saat kita merasa lupa, kita sebenarnya sedang mengingat. Dan, saat kita berhasil mengingat, kita melupakan.

Hubungan lupa-ingat ini selalu dianggap bertentangan. 'Lupa' selalu dilawankan dengan 'ingat'. Padahal, kalau kita lihat penjelasan tadi, lupa-ingat tidak berlawanan sama sekali. Malah, mereka boleh dibilang memiliki hubungan implikasi. Salah satunya mengimplikasikan yang lain. Kalau sudah seperti ini, maka tidak masalah lupa atau ingat. Kita hanya perlu sadar dan merasa lupa agar bisa mulai mengingat lagi. Saat kita selalu merasa berhasil mengingat, saat itu juga banyak hal yang kita lupa.

Ugit Rifai


Beberapa hari yang lewat, saya menyaksikan pertemuan dua sahabat lama. Mereka adalah Emak dan seorang sahabatnya semasa remaja.

Awalnya ada sepasang suami-istri yang sudah terlihat renta mengucap salam di depan pintu rumah. Mereka lalu menyebut nama Emak sambil menanyakan apakah ini rumahnya. Kakakku yang menemui mereka langsung mengiyakan dan mempersilakan keduanya masuk. Saya lalu bertanya-tanya karena tak ada yang mengenali sepasang tamu ini.

Masa sebentar, Emak sudah bersiap menemui mereka. Saat Emak duduk bersama tamu-tamu ini, ternyata Emak tidak mengenalinya sampai harus menanyakan berulang-ulang. Rupanya sang tamu tidak mau membuatnya mudah. Ia lalu mengingatkan Emak tentang masa remaja mereka sebagai teman mengaji bersama. Entah setelah petunjuk keberapa, Emak akhirnya berhasil mengingat tamu ini. Lalu, tahu-tahu saja kedua sahabat lama ini sudah larut dalam nostalgia diiringi tawa.

Seperti (mungkin) umumnya sahabat lama yang sudah berkeluarga, mereka lalu bercerita tentang keluarga masing-masing, tentang anak-cucu mereka. Di tengah-tengah kami, Emak lalu bercerita tentang sahabatnya ini dan kenangan semasa mereka bersama dulu. Tak banyak memang, tapi cukup untuk membuat kesimpulan bahwa dulu mereka sangat dekat.

Pertemuan ini lalu membuatku bertanya: Saat aku sudah tua nanti, adakah teman lama yang berkunjung dan berbagi kenangan lagi? Lalu saya sadar, jawaban dari pertanyaan ini sebenarnya sedang saya rancang (dengan atau tanpa saya sadari). Bagaiana saya berteman dengan orang-orang di sekitar saya, bagaimana saya memberikan kesan kepada mereka akan sungguh membentuk jawaban dari pertanyaan saya tadi. Nama sudah tak penting lagi untuk diingat. Kesan dan kenangan yang kita berikan kepada orang lain lah yang akan benar-benar membangun memori spesial. Lihat saja bagaimana Emak yang awalnya lupa lalu mengambil kembali memori yang tersimpan lama dengan mudah berkat kesan yang dibangun sahabatnya dulu saat mereka bersama.

Ini mungkin belum menjadi gambaran persahabatan ideal, tapi paling tidak, ada satu sisi ideal yang tak boleh disepelekan. Sahabat bukan hanya saat bersama, tapi hingga nanti setelah terpisah sekian lamanya lalu dipertemukan kembali. Saat remaja mereka bersahabat. Dan, dengan caranya masing-masing, mereka tetap bersahabat. Merekalah sahabat lama, sahabat (hingga) tua.

Namaku Mughits Rifai. Terlahir dari rahim ibuku lebih kurang satu tahun pasca tragedi menggemparkan yang ‘memaksa’ musisi Iwan Fals menggubah sebuah lagu. Lagu yang mungkin membangkitkan kenangan pahit bagi siapapun yang terhubung dengan peristiwa itu. Saya biasa dipanggil ‘Ugit’ yang tidak ada artinya sama sekali, paling tidak dalam bahasa-bahasa yang saya ketahui. Tapi, ‘Mughits Rifai’ punya arti yang sungguh di luar dugaan saya. Thank you, dad for giving me such a unique name.


Dulu waktu saya belajar bahasa Arab, saya pernah bertanya kepada guru saya tentang arti nama saya, Mughits dan Rifai. Menurut beliau ‘Mughits’ berarti penolong diambil dari akar kata aghatsa yang berarti menolong. Sedangkan Rifai berasal dari akar kata rafa’a yang berarti mengangkat. Sampai saat itu saya belum bisa menemukan kaitan antara Mughits dan Rifai. Sangat berbeda dengan Abdur Rohim yang artinya bisa langsung dikaitkan, Hamba (Tuhan Dzat) Penyayang. For some periods of time, I let myself not knowing the exact meaning of my own name.

Beberapa masa kemudian, dan ini saya tau saat Bapak sudah tiada, Ibu bercerita mengenang Bapak. Menurut Ibu saya diberi nama Mughits Rifai karena waktu itu ada kejadian penting. Sebuah kapal besar yang mengangkut 1.000 lebih penumpang mengalami kecelakaan. Sang kapten berusaha menyelamatkan sebanyak-banyaknya penumpang dengan perahu penyelamat yang ada. Sisanya mereka menyelamatkan diri dengan menceburkan diri ke laut dan berenang menjauhi kapal. Sedang sang kapten memilih tetap bersama kapalnya sambil tetap mencoba menyelamatkan yang tersisa. Akhirnya sang kapten terbawa tenggelam bersama kapalnya. Sumber-sumber menyebutkan sekitar 700-an jiwa dinyatakan selamat. Kapal tersebut bernama Tampomas II, dan sang kapten adalah Rifai.

Sekarang saya mengerti.
WARISAN

Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan muslim, maka saya beragama Islam. Seandainya saja saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tidak.

Saya tidak bisa memilih dari mana saya akan lahir dan di mana saya akan tinggal setelah dilahirkan.
Kewarganegaraan saya warisan, nama saya warisan, dan agama saya juga warisan.

Untungnya, saya belum pernah bersitegang dengan orang-orang yang memiliki warisan berbeda-beda karena saya tahu bahwa mereka juga tidak bisa memilih apa yang akan mereka terima sebagai warisan dari orangtua dan negara.

Setelah beberapa menit kita lahir, lingkungan menentukan agama, ras, suku, dan kebangsaan kita.
Setelah itu, kita membela sampai mati segala hal yang bahkan tidak pernah kita putuskan sendiri.
Sejak masih bayi saya didoktrin bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar.

Saya mengasihani mereka yang bukan muslim, sebab mereka kafir dan matinya masuk neraka.

Ternyata, teman saya yang Kristen juga punya anggapan yang sama terhadap agamanya.

Mereka mengasihani orang yang tidak mengimani Yesus sebagai Tuhan, karena orang-orang ini akan masuk neraka, begitulah ajaran agama mereka berkata.

Maka, Bayangkan jika kita tak henti menarik satu sama lainnya agar berpindah agama, bayangkan jika masing-masing umat agama tak henti saling beradu superioritas seperti itu, padahal tak akan ada titik temu.

Jalaluddin Rumi mengatakan, "Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan; jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan itu,
memperhatikannya, lalu berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh."

Salah satu karakteristik umat beragama memang saling mengklaim kebenaran agamanya.

Mereka juga tidak butuh pembuktian, namanya saja "iman". Manusia memang berhak menyampaikan ayat-ayat Tuhan, tapi jangan sesekali mencoba jadi Tuhan.
Usah melabeli orang masuk surga atau neraka sebab kita pun masih menghamba.

Latar belakang dari semua perselisihan adalah karena masing-masing warisan mengklaim, "Golonganku adalah yang terbaik karena Tuhan sendiri yang mengatakannya".

Lantas, pertanyaan saya adalah kalau bukan Tuhan, siapa lagi yang menciptakan para Muslim, Yahudi, Nasrani, Buddha, Hindu, bahkan ateis dan memelihara mereka semua sampai hari ini?

Tidak ada yang meragukan kekuasaan Tuhan. Jika Dia mau, Dia bisa saja menjadikan kita semua sama. Serupa. Seagama. Sebangsa.
Tapi tidak, kan?

Apakah jika suatu negara dihuni oleh rakyat dengan agama yang sama, hal itu akan menjamin kerukunan?

Tidak!

Nyatanya, beberapa negara masih rusuh juga padahal agama rakyatnya sama.

Sebab, jangan heran ketika sentimen mayoritas vs. minoritas masih berkuasa, maka sisi kemanusiaan kita mendadak hilang entah kemana.

Bayangkan juga seandainya masing-masing agama menuntut agar kitab sucinya digunakan sebagai dasar negara. Maka, tinggal tunggu saja kehancuran Indonesia kita.

Karena itulah yang digunakan negara dalam mengambil kebijakan dalam bidang politik, hukum, atau kemanusiaan bukanlah Alquran, Injil, Tripitaka, Weda, atau kitab suci sebuah agama, melainkan Pancasila, Undang-Undang Dasar '45, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam perspektif Pancasila, setiap pemeluk agama bebas meyakini dan menjalankan ajaran agamanya, tapi mereka tak berhak memaksakan sudut pandang dan ajaran agamanya untuk ditempatkan sebagai tolok ukur penilaian terhadap pemeluk agama lainHanya karena merasa paling benar, umat agama A tidak berhak mengintervensi kebijakan suatu negara yang terdiri dari bermacam keyakinan.

Suatu hari di masa depan, kita akan menceritakan pada anak cucu kita betapa negara ini nyaris tercerai-berai bukan karena bom, senjata, peluru, atau rudal, tapi karena orang-orangnya saling mengunggulkan bahkan meributkan warisan masing-masing di media sosial.

Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan.

Kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir.

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE